Sejak tahun 2017, anak-anak asli Papua berusia hingga empat tahun menerima bantuan uang tunai sebesar Rp200 ribu per bulan sebagai bagian dari proyek percontohan di Asmat, Paniai, dan Lanny Jaya. Program yang dibiayai oleh Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua ini bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak dan mengurangi kemiskinan. Namun, program ini dihentikan pada tahun 2019 karena dananya dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20 di Papua pada 2021.
Stadion Lukas Enembe, yang terletak di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, menghabiskan biaya sebesar Rp1,3 triliun. Pembangunan stadion ini dianggap sebagai simbol keberhasilan Papua dalam menggelar PON. Namun, anggaran yang digunakan untuk stadion dan infrastruktur terkait PON sebagian besar berasal dari Dana Otsus yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP), termasuk program perbaikan gizi anak.
Pembangunan stadion dan infrastruktur PON menyebabkan pembengkakan anggaran yang signifikan. Biaya yang awalnya direncanakan untuk pembangunan fasilitas olahraga meningkat jauh dari perkiraan, sehingga dana Otsus dialihkan untuk menutupi kekurangan tersebut. Proyek ambisius ini memicu kontroversi karena program Bangga Papua, yang sebelumnya memberikan bantuan tunai untuk meningkatkan gizi anak, harus dihentikan. Pengalihan dana ini menimbulkan protes dari sejumlah pihak, termasuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua, yang menyatakan bahwa Dana Otsus seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan kesejahteraan OAP.
Pengalihan dana untuk PON juga dikaitkan dengan dugaan korupsi. Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Witono, mengungkapkan adanya dugaan kerugian negara sekitar Rp8 triliun terkait penyelenggaraan PON, meskipun angka ini belum dirinci secara jelas. Setelah kematian Lukas Enembe, mantan Gubernur Papua, kasus dugaan korupsi masih belum terpecahkan sepenuhnya.
Dengan penghentian program Bangga Papua, upaya perbaikan gizi di daerah-daerah terpencil seperti Asmat mengalami kemunduran. Para ahli gizi dan pihak-pihak yang terlibat dalam program tersebut menyatakan penyesalan atas keputusan untuk mengalihkan dana. Dampak negatif terhadap kesehatan anak-anak dan keluarga miskin di Papua semakin terasa dengan berkurangnya anggaran yang dialokasikan untuk kebutuhan gizi.
Keputusan untuk mengalihkan Dana Otsus dari program perbaikan gizi anak untuk membiayai PON Papua menunjukkan ketidakseimbangan dalam alokasi anggaran. Proyek infrastruktur PON, meski dianggap sebagai pencapaian, harus menghadapi kritik terkait dampaknya terhadap program sosial yang penting bagi kesejahteraan masyarakat Papua. Kebutuhan untuk transparansi dan komitmen dalam pengelolaan anggaran tetap menjadi hal yang mendesak di tengah kontroversi ini.